Opini. Oleh Sudirman. Melirik nasib bangsa Indonesia yang merindukan kesejahteraan berbagai pristiwa yang sudah dilalui para pejuang bangsa hingga mempertaruhkan nyawanya demi bangsa dan Negara Indonesia.
Habis tahun zaman berganti sepertinya impian para pejuang belum sepenuhnya terwujud untuk kesejahteraan masyarakat. Terlihat masih terkekang dalam kesenjangan sosial dan ekonomi semakin nyata.
Tentunya masyarakat Indonesia ingin suatu perobahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, berdahulat sesuai idiologi pancasila yang dicetuskan oleh para pejuang bersama masyarakat dulunya. berjuang untuk menjadikan negara yang bermatabat disegani dari berbagai bangsa belahan Dunia.
Perobahan bukan untuk meracuni pemikiran para generasi penerus bangsa yang sedang tumbuh belum mengenal arah kehidupannya. Perlu mendapatkan contoh surytauladan, dari orang tua dan para pejabat yang sedang berkuasa, untuk kearah yang baik sesuai idiologi pancasila ketuhanan yang maha esa, bermatabat, berbudaya Indonesia, menjadi cikalbakal pemimpin bangsa Indonesia kelak.
Hal itu sepertinya jauh panggang dari Api, bagaikan Burung Pungguk merindukan Bulan entah kapan masanya turun kebumi, istilah itulah mungkin yang pas diumpamakan harapan masyarakat sampai saat ini, keluhkesah yang terdengar di medsos maupun seperti terlihat secara kasat mata.
Sepertinya yang dapat hidup layak mungkin orang yang pandai-pandai, bukan orang pandai, artinya pandai-pandai dalam bidang cara kehidupan mengkesampingkan mana yang hak dan mana yang batil, untuk memperoleh kehidupan yang mewah dan bertahta dan wanita.
Namun kita tidak bisa menyalahkan golongan orang-orang seperti yang kita lihat, karena pemikiran seperti itu mungkin timbul dari kesenjangan sosial, terlihat sebahagian para pejabat mendapat kesempatan untuk melancarkan aksinya yang tidak memakan waktu lama sudah menjadi miliader.
Hal itu tentunya secara tidak langsung tertular kepada orang yang ingin hidup mewah tanpa memikirkan dampak kelak yang akan dijadikan barometer bagi generasinya, hingga menjadi suatu kebiasaan.
Untuk menuju bangsa yang berakhlak mulia, tentu para pemuka dan para penguasa harus memberikan contoh dan perilaku yang mendidik, bukan pura-pura baik (Purba) berbuat hanya ingin mendapat perhatian dari masyarakat untuk mencari kesempatan dalam melancarkan aksinya kelak. ” Istilah sekarang sebagai pencitraan untuk mencari perhatian”. Masyarakat butuh keadilan, bukan janji-janji manis seperti diuacapkan para calon pemimpin berkampanye.
Maka dari itu masyarakat Indonesia perlu berpikir untuk memilih para pacalon pemimpin masa depan yang akan membawa bangsa ini kearah yang lebih maju untuk kesejahteraan bangsa Indonesia tanpa mencedera’i edilogi pancasila, sesuai cita-cita bangsa Indonesia.